Pernah dengar candaan seperti ini, “Mana ada sih kucing nolak kalau dikasih ikan?” Atau “Ini hanya bercanda, jangan baper deh jadi orang”
Candaan memang menjadi bagian dari interaksi sosial yang menyenangkan. Tertawa bersama dapat mencairkan suasana dan mempererat hubungan. Namun, ketika candaan itu mengandung seksisme, masalahnya jadi berbeda. Candaan seksis bukan hanya soal ‘baper’ atau tidak. Ini soal martabat, kekerasan verbal, dan budaya patriarki, seolah-olah melegitimasi dengan dalih hiburan.
Candaan Seksisme: Bercanda atau Merendahkan?
Baru-baru ini, cuplikan video dari platform media sosial X (sebelumnya Twitter) menampilkan Gubernur Jawa Barat sekaligus figur publik, hangat di sapa KDM, melontarkan candaan seksis yang menyamakan perempuan dengan metafora tubuh yang berisi. Meski banyak yang mengira sekadar “guyonan”, tak bisa dipungkiri bahwa pernyataan semacam itu menormalisasi seksisme dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, kita sering gagal membedakan antara humor dan penghinaan. Bagaimanapun candaan seksis bukan hanya guyonan iseng. Ini adalah bentuk kekerasan seksual secara verbal. Ironisnya lagi, jenis candaan ini sudah dianggap lumrah, hal yang lazim, bahkan sering dijadikan topik sehari-hari, entah itu di warung kopi, media sosial, hingga ruang-ruang formal seperti dunia akademik dan politik. Padahal candaan ini bertendensi untuk menyampaikan, melecehkan, bahkan mengobjektifikasi berdasarkan gendernya.
Seksisme Bukan Lelucon Biasa, Tapi Legitimasi Budaya Patriarki!
Dalam masyarakat patriarkal seperti Indonesia, humor disamarkan dalam bentuk candaan seksisme, dan malah dianggap sebagai tanda keakraban atau kedekatan. Padahal, di balik tawa palsu itu, tersembunyi ketimpangan hubungan kekuasaan dan kekerasan struktural yang nyata, patriarki. Candaan ini seolah-olah hal pembenaran terhadap kekerasan dan kekuasaan gender, terutama terhadap perempuan.
Candaan seperti, “hidup tuh kayak diperkosa, nikmati aja,” atau, “punya lima anak pasti udah turun mesin,” Berhenti! ini bukan sekedar tidak lucu, tapi mengerikan untuk didengar. Apakah kita tahu kepada siapa kita berbicara? Mungkinkah dia korban kekerasan seksual? Kita tidak pernah tahu hal itu. Candaan seperti ini bisa membuat seseorang menjadi lebih traumatis. Ini bukan soal hipersensitif, baper dan sebagainya, tapi ini soal kemanusiaan.
Dalih citra ingin terlihat asik, orang -orang yang melontarkan candaan seperti ini bukan terlihat asik dan keren, malah terlihat tidak seperti terpelajar. Malah menunjukkan kualitas dirinya dengan candaan terbut. Candaan berbau seksisme bukan hanya bentuk ketidaksensitifan terhadap isu kesetaraan gender, tetapi juga berpotensi melegitimasi kekerasan berbasis gender.
Siapa Saja Pelakunya?
Pelaku candaan seksis tidak mengenal gender, gelar, atau jabatan. Bahkan perempuan pun bisa ikut serta, baik karena tekanan lingkungan atau karena telah terinternalisasi oleh budaya patriarki itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa seksisme bukan hanya persoalan individu, namun sudah menjadi norma sosial yang diam-diam diterima.
Ironisnya, ketika ada tokoh masyarakat seperti pemimpin daerah yang turut memproduksi candaan seksis. Pemimpin seharusnya memberi teladan, bukan malah menormalisasi kekerasan verbal. Kritik sosial bisa disampaikan tanpa memikirkan martabat pihak lain, terutama perempuan yang sudah terlalu sering jadi objek lelucon murahan.
Humor Tak Harus Direndahkan!
Humor memang kuat , tapi justru karena itu kita harus hati-hati. Candaan seksisme bukan cuma soal lucu atau tidak. Ini mencerminkan nilai yang kita anggap layak dipertahankan. Banyak orang yang lebih cepat membela dengan dalih “cuma bercanda, jangan baper” daripada minta maaf. Tapi bukan berarti kita harus diam.
Mulailah dengan tidak tertawa. Jika tak berani melawan, jangan beri reaksi. Karena tawa kita adalah tanda persetujuan diam-diam. Jadi, jangan sembarangan tertawakan humor seperti ini, karena pelaku akan mengira humornya diterima.
Lakukan Ini Jika Tidak Ingin Menjadi Pelaku
Langkah pertama adalah memahami sensitivitas. Candaan yang menyentuh isu gender, tubuh, atau stereotip sosial bukan hanya berisiko menyakiti, tapi juga mencerminkan betapa normalnya kekerasan simbolik itu dalam budaya kita. Bisa jadi orang yang mendengarnya adalah korban kekerasan. Bisa jadi dia sedang mencoba memulihkan. Dan kita, dengan satu tawa kecil atau komentar ringan, tanpa sadar ikut mengoyak lukanya.
Lalu, pilihlah kata ikut dengan hati-hati.Di era media sosial, kita mudah sekali terbawa arus, tren FOMO, ingin jadi yang paling lucu, paling sarkastik, paling “nyambung.” Tapi penting untuk bertanya pada diri sendiri Apakah kelucuan ini pantas? Siapa yang jadi bahan tertawa?
Ini bukan soal baper-baperan, tetapi mengucapkan dua kata humor tidak harus dipenuhi. Karena lucu itu bukan soal siapa yang ditertawakan. Tapi siapa yang tetap merasa aman saat kamu tertawa.