Sorak sorai penonton terdengar dari tribun, home away tak jadi alasan untuk absen menonton. Teriakan saat gol tiba, sepakbola sudah jadi hiburan masyarakat berbagai kalangan. Tua, muda, perempuan, laki-laki riuh saat sama-sama mendukung tim kebanggaan. Atlet sepakbola dapat sorotan layaknya artis, profesionalisme dan attitude teruji. Tak heran memang, sepakbola jadi salah satu olahraga paling popular di republik ini berdampingan dengan bulutangkis.
Perjuangan untuk mengenakan jersey klub kasta tertinggi liga Indonesia tentu tak mudah. Sejak kecil berlatih pagi hingga sore, diimbangi dengan gizi yang harus terjaga, tak lupa sekolah karena masih kewajiban, bersaing dengan bakat-bakat lain yang punya mimpi serupa. Itulah mengapa ketika sudah menginjakkan rumput di klub-klub elit tanah air seolah perjuangan terbayar, apalagi masuk selevel timnas impian semua pesepakbola tanah air.
Melawan Stigma
Namun, di balik gemerlap euphoria tersebut perlakuan serupa tak didapat pesepakbola perempuan. Olahraga yang katanya milik masyarakat ini, memperlakukan perempuan tidak setara dengan laki-laki. Sejak dalam pikiran, stigma kuat melekat pada diri atlet-atlet perempuan, Zahra Muzdalifah salah satu pesepakbola putri tanah air dikutip dari parapuan mengaku kerap mendapat perlakuan tak mengenakan saat dirinya mulai terjun ke dunia sepakbola.
Minimnya wadah untuk berkompetisi dengan sesama perempuan membuat Zahra kerap berlatih dengan laki-laki namun selama bermain dirinya sering tak diberi bola, dipandang sinis dan sebagainya. Perlakuan ini menandakan belum adanya kepercayaan penuh dari masyarakat bahwa perempuan benar-benar bisa bermain sepakbola layaknya laki-laki. Sementara keluarga Zahra mendukung penuh mimpinya, ia sudah diberi support maksimal sejak usia 7 tahun.
Cerita Zahra jadi pengingat kita sebagai masyarakat untuk tidak mengkotak-kotakkan. Sepakbola bisa untuk siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Bagaimanapun pesepakbola perempuan seperti Zahra dan rekan-rekannya lah yang membawa bendera Indonesia di peta persaingan kompetisi sepakbola perempuan di kancah internasional.
Ketidaksetaraan
Tak hanya stigma yang kerap dipandang sebelah mata, sepakbola perempuan mendapat perlakuan tak setara dari federasi yang menaunginya. PSSI sebagai induk yang menaunginya bahkan tak menyediakan kompetisi untuk atlet-atlet perempuan ini berkompetisi. Padahal bagi seorang atlet, khususnya sepakbola yang output-nya nanti ke timnas kompetisi sangat penting. Dengan kompetisi, atlet bisa tetap menjaga kebugaran tubuhnya, merasakan atmosfer pertandingan, menguji apa yang sudah diberikan selama latihan, aspek-aspek tersebut yang tak didapat pesepakbola putri tanah air.
Kompetisi ini pertama di gelar tahun 2019, Persib Bandung Putri keluar sebagai juara. Namun karena pandemi kompetisi tidak dilanjut hingga saat ini. Berbanding terbalik dengan liga sepakbola pria yang sejak pandemi usai sudah digelar. Liburnya kompetisi ini tentu berdampak pada performa timnas putri pada ajang-ajang internasional. Gap yang terlalu jauh dengan pesaing menyebabkan timnas putri kerap menerima kekalahan.
Perjuangan Meraih Mimpi
Pilihan yang belakangan diambil oleh sebagian besar pesepakbola perempuan tanah ar ialah berkarir di liga luar negeri. Zahra Musdalifah, sudah mencicipi Jepang sebagai tempat menimba ilmu. Shalika, memilih Italia. Apresiasi tinggi perlu terus diberikan kepada mereka, melawan stigma, mendapat perlakuan tak adil, membela timnas dengan tidak adanya kompetisi lokal yang digulirkan, berat.
Kompetisi dan Liga Sepakbola Perempuan
Harapan justru hadir dari pihak swasta yang mulai menggulirkan liga putri. Djarum foundation Bersama Milk Life dikutip dari kumparan sudah tertarik dengan liga sepakbola putri sejak 2023, ketertarikan ini dimula dengan menggelar Milk Life Soccer Challenge untuk U-10 dan U-12 DI Kudus. Turnamen ini diikuti kurang lebih 1.000 siswa SD/MI sederajat yang punya ambisi sama.
Pada tahun berikutnya, Milk Life berupaya menjangkau area yang lebih luas, 8 kota besar dipilih untuk menyelenggarakan turnamen ini. Partisipan pun meningkat drastis, antusiasme tak terbendung. Upaya ini terlihat pada 2024, sebanyak 12.778 siswi mulai rutin bermain sepak bola. Dari situ, 112 pemain terbaik yang mewakili delapan kota bertanding untuk memperebutkan gelar juara di MilkLife Soccer Challenge All-Stars di Stadion Supersoccer Arena, Kudus, 24-26 Januari 2025.
Banyaknya partisipan menunjukkan bahwa kemauan atlet putri Indonesia tinggi, namun belum banyak turnamen atau liga yang dapat mewadahi bakat mereka. Ke depan Djarum terbuka untuk mengembangkan kelompok usia yang lebih tinggi dimulai dari U-14 hingga tingkat universitas. Memang sorotnya tak seterang liga-liga sepakbola pria, namun harapan dan ambisinya boleh diadu, kompetitifnya jangan ditanya.
Harapannya perempuan-perempuan cilik yang punya mimpi menjadi peman sepakbola tak takut lagi mengutarakan mimpinya, tak bingung lagi ingin berlatih dengan siapa, ke depan mereka-merekalah yang memegang tongkat estafet selanjutnya untuk mengharumkan nama Indonesia ke tingkat internasional. Meski tantangannya berat, pesepakbola putri tanah air tak patah semangat dalam mengejar mimpinya, Zahra dan Shalika jadi wajah itu. Semoga meski tanah air kerap tak bersahabat, semangat itu tetap muncul dan terus membara. Bagaimanapun seorang atlet butuh wadah untuk berkompetisi agar terus kompetitif sehingga siap memberikan yang terbak untuk timnas ketika dibutuhkan.