Polwan Cantik: Ketika Perempuan Menjadi Tameng Aparat

Sebuah postingan sosial media menampilkan barisan rapi polisi wanita (polwan) cantik. Duduk teratur bak pagar ayu, mereka menjadi garda terdepan bersinggungan langsung dengan kelompok massa demonstrasi DPR di penghujung Agustus 2025.

Lewat layar, sekilas mereka terlihat menjalankan tugasnya untuk menertibkan demonstran secara damai. Akan tetapi, fakta bahwa barisan pertama terdiri dari sebagian besar wanita terasa sedikit janggal. Ada apa?

Pagar Ayu Polwan, Seperti IDF?

Pada demo DPR di Bandung, ditemukan tangkapan layar dari Tiktok barisan polwan yang duduk rapi. Hal tersebut mengundang debat di media sosial. Kebanyakan netizen menganggap hal tersebut sebagai strategi yang ganjil.

Bagi netizen, kehadiran polwan pada demo ini menjadi seperti “balasan” dari keberanian ibu-ibu kerudung pink yang melakukan perlawanan pada aparat saat demo. Sebagian besar polwan masih terlihat muda. Mengapa mereka ditaruh paling depan? Kalau dipikir-pikir, jika demo menjadi brutal mereka bisa menjadi korban kekerasan juga, kan?

Barisan polwan terdepan menghadapi demo
Sumber: Metro Jambi.

Tak hanya itu, banyak juga kecaman keras netizen yang melihat kemiripan hal tersebut dengan strategi combat cuties tentara Israel (Israel Defense Force, IDF) untuk menggunakan aparat perempuan sebagai taktik humas. Mengutip komentar salah satu netizen: “IDF style”.

Dalam postingan oleh Elshinta, tampak seorang polwan menangis akibat cedera. Ia kemudian ditenangkan oleh rekan sesama polwan. Kejadian ini juga mengundang komentar pedas netizen, yang menuntut profesionalitas polwan sebagai aparat.

Postingan tersebut mengundang kritik karena dianggap menonjolkan emosi dan kurang profesional. Beberapa komentar membandingkan bahwa sedihnya cedera polwan tidak akan sebanding dengan duka keluarga almarhum Affan Kurniawan yang menjadi korban kendaraan taktis. Sebenarnya hal yang wajar jika polwan tersebut menangis dan kesakitan karena cedera. Akan tetapi, postingan tersebut terkesan seperti menarik simpati masyarakat dengan meng-highlight tangisan polwan sebagai seorang perempuan, bukan profesional aparat.

Baca juga:  Perempuan Berlogika: Mendobrak Stereotip Gender di Indonesia

Barisan Polwan Paling Terdepan, Sengaja?

Demo Agustus 2025 bukan pertama kalinya polwan ditempatkan di garda terdepan oleh POLRI untuk mengantisipasi demo. Penelusuran tentang “polwan demo” memunculkan banyak artikel dan berita yang memuat polwan di barisan depan. Entah menjadi negosiator, distribusi konsumsi dan air mineral kepada pendemo, sampai menjadi bidan dadakan.

Pengaturan agar polwan berada di depan mengandung unsur kesengajaan. Diberitakan oleh Radio R2B Rembang , Kasat Sabhara Polres Rembang, AKP Rohmat menyatakan penempatan polwan di awal demo adalah bagian dari standar operasional prosedur (SOP) pengamanan demo. Artikel dari Merdeka.com memuat pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Saud Usman Nasution. Ia mengatakan bahwa polwan akan ditarik jika situasi dan kondisi mulai memanas. Mereka akan digantikan dengan personel laki-laki yang menggunakan tameng (yang sebenarnya).

Meskipun penempatan polwan sebagai “penenang” dan “humas” dianggap wajar sebagai strategi oleh POLRI, di sisi lain masyarakat kian sadar bahwa profesionalisme tak memandang gender. Hal ini menyebabkan kritik pedas netizen terhadap tendensi kepolisian untuk menggunakan polwan sebagai “tameng” aparat.

Mawar dari Polwan, Senjata Humas Polri

Mawar dari Polwan. Sumber: Instagram Humas Polsek Ungaran Barat

Salah satu postingan yang diunggah oleh Humas Polsek Ungaran Barat memperlihatkan seorang polwan memberikan setangkai mawar kepada driver ojol yang sedang berorasi. Sang driver tampak malu-malu menerima mawar tersebut. Hal ini mungkin tampak lucu dan menghibur.

Namun, di sisi lain ini dapat mengindikasikan strategi aparat penegak hukum indonesia untuk menjadikan femininitas sebagai “senjata” (weaponizing femininity). Kebiasaan sosial menganggap perempuan memberikan sentuhan “kelembutan” dipakai untuk meningkatkan citra penegakan hukum. Selain itu, perempuan juga sering dianggap lebih harmonis dan komunikatif, meski nyatanya kemampuan berkomunikasi tidak tergantung oleh gender.

Baca juga:  Selamat Hari Kebebasan Pers : Bagaimana Kebebasan Pers Perempuan di Ruang Redaksi?

Contoh lain ada pada artikel resmi Polda Gorontalo mengenai demonstrasi kenaikan BBM pada tahun 2022. Disebutkan bahwa secara strategis Polwan ditunjuk sebagai negosiator dengan asumsi Polwan dapat menjalin komunikasi dengan harmonis. “Saya yakin dengan Polwan akan lebih luluh (Demonstran),” ujar Kabid Humas Polda Gorontalo dalam artikel tersebut.

Penitikberatkan pada keperempuanan, alih-alih kinerja juga terlihat pada artikel yang membahas bagaimana polwan tampil cantik saat demo. Polwan berbaris rapi dibalik kawat berduri diberitakan memoles riasan di wajahnya. Tulisan tersebut menarik analogi bahwa polwan itu seperti mawar, indah namun dilindungi tajamnya duri. Pada artikel yang sama, pembahasan mengenai rekan laki-laki polwan menitikberatkan pada kesiagaan formasi mereka untuk mengamankan aksi demo buruh. Ini bukan tentang pandangan akan tulisan dalam artikel tersebut, melainkan fakta bahwa polwan secara strategis diberi waktu istirahat untuk merapikan penampilan. Menjadi mawar indah berduri, menjadi senjata humas POLRI.

Terasa lumrah bagi organisasi yang masih patriarkis, mengingat sebagian besar petinggi aparat hukum adalah laki-laki.

Polwan Cantik, Kalau Ngga Cantik Ngga Jadi Polwan

Banyak akun-akun media sosial yang mem-posting pesona polwan secara fisik, alih-alih keahlian mereka secara profesional. Daftar nama-nama Polwan cantik masih sering menjadi konten. Merujuk artikel yang dimuat Tempo.co,  Brigjen Basaria Panjaitan, widyaiswara polwan, mengakui bahwa yang “berpenampilan menarik” akan lebih mudah lolos tes seleksi menjadi polwan. Konsep “berpenampilan menarik” umum digunakan untuk menilai seseorang apakah memenuhi standar kecantikan masyarakat. Ngga cantik, ngga jadi polwan!

Kecantikan juga menjadi alat untuk menawarkan nilai seorang perempuan, khususnya polwan di mata masyarakat. Strategi humas polisi yang seringkali menitikberatkan kecantikan polwan juga amat berperan. Hal ini menyebabkan polwan rawan menghadapi objektifikasi perempuan.

Baca juga:  Working Mom vs Fulltime Mom: Kegiatan Perempuan Mana yang Terbaik Meluangkan Waktu Keluarga
Peserta demo goyang dangdut saat berhadapan dengan polwan (Instagram). Sumber: Suara.com

Demo yang dijaga oleh Polwan juga dapat menarik aksi misoginistik pendemo. Para pendemo berjoget di depan polwan, seolah-olah para polwan tidak mampu menggunakan power-nya sebagai penegak hukum. Terdapat konten bahwa demo cukup dijogetin saja, aman sambil modusin ibu pol. Konten serupa hampir tak mungkin ditemui untuk para pak pol. Profesionalitas perempuan menjadi candaan bagi sebagian masyarakat yang masih memiliki nilai patriarkis.

Tetap Bersuara, Tetap Profesional

Dalam ketidakstabilan kondisi saat ini, polwan sebagai bagian dari aparatur negara memiliki tugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Suara masyarakat sipil dalam negara demokratis wajib untuk dijaga oleh personil kepolisian, baik laki-laki maupun perempuan. Komentar-komentar seksis non-profesional yang diarahkan pada perempuan aparat bukan solusi, apalagi strategi kepolisian yang cenderung membiarkan hal tersebut. Perjalanan sosial masyarakat Indonesia masih panjang untuk mencapai peniadaan bias gender pada jenis keahlian. Polwan, hanyalah salah satu contohnya.

Beauties, suarakan hakmu dan jaga perjuangan dengan tetap hati-hati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top