Beauties, pernahkah kamu berpikir tentang mengapa banyak perempuan, terutama di Indonesia, seringkali dihadapkan pada masa depan yang terkadang dibatasi oleh keluarga dan masyarakat?
Tanpa disadari, asumsi-asumsi bahwa perempuan harus menjadi ibu dan istri yang “baik” di masa depan sering membatasi gerak dan kebebasan perempuan Indonesia untuk menentukan pilihan mereka sendiri. Pandangan standar “baik” pun bukan hanya dilihat dari sisi moral, tetapi juga dari ekspektasi idealnya perempuan dalam kacamata patriarkis: penurut, rela berkorban sampai titik destruktif, dan nrimo.
Belakangan ini berkat emansipasi perempuan dan naiknya tingkat pendidikan perempuan urban secara umum, mungkin pemikiran tersebut sudah terasa usang bagi Beauties. Akan tetapi, bagi sebagian orang, pandangan tersebut adalah cara utama bagi mereka untuk menilai diri sendiri dan juga orang lain. Untuk memahami pandangan identitas perempuan, mari kita kaji konsep ibuisme negara yang dicetuskan oleh Julia Suryakusuma.
Apa itu ibuisme negara?
Awal dari istilah ibuisme dicetuskan oleh Madelon Djajaningrat-Nieuwenhuis pada bahasannya mengenai tuntutan perempuan Indonesia untuk mendukung suami dan mendidik anak-anak, ditambah dengan tugas tak tertulis untuk memelihara status sosial dari sisi penampilan, perhiasan, dan urusan rumah.
Dalam konteks ibuisme, perempuan tidak memiliki identitas selain dari hubungan sosialnya sebagai ibu dan istri. Konsep tersebut dikaji lebih lanjut sebagai ibuisme negara oleh Julia Suryakusuma.
Menurut Julia, konsep sosial keperempuanan pada masa orde baru digunakan oleh pemerintah sebagai bentuk kontrol. Tak hanya itu, perempuan juga dikaitkan status sosialnya secara erat dengan jabatan suami serta tanggung jawab untuk membangun negara, tanpa digaji.
Pada ibuisme negara, peran ganda perempuan indonesia tambah berat. Keharusan pengabdian tak hanya pada suami, anak, dan keluarga, tapi juga keluarga, komunitas, dan negara. Istri dianggap sebagai perpanjangan tangan suami dalam konteks membangun bangsa dan negara.
Kegiatan volunteer (sukarelawan) seperti Dharma Wanita untuk istri aparatur negeri sipil (ASN) dan PKK adalah contoh konkrit dari tuntutan tersebut. Yang menentukan “jabatan” dan tanggung jawab istri pada perkumpulan tersebut adalah jabatan suami, bukan kompetensi sang istri sendiri.
Identitas di luar peran sosialmu
Ibuisme negara memang sudah mengakar kuat di masyarakat Indonesia yang cenderung patriarkis. Tak dapat dipungkiri, memiliki identitas sebagai sebagai istri dan ibu memang dapat meningkatkan kualitas hidup dan status sosial.
Akan tetapi, keduanya sebagai identitas utama berpotensi menghilangkan individualisme perempuan sebagai manusia yang dapat berkarya dan berkesempatan untuk mewujudkan keinginan diri. Ditambah lagi, menilai seorang perempuan, baik diri sendiri dan orang lain, hanya berdasarkan dua nilai tersebut akan membatasi ruang gerak perempuan dan melanggengkan patriarki.
Yuk Beauties, kenali tentang dirimu dan mari bangun cita-cita sendiri. Ikut dukung dan ajak perempuan di sekitarmu untuk berkarya, tak hanya dalam konteks membangun keluarga dan komunitas, tapi juga pencapaian pribadi. Semoga membantu!