Beban Ganda Perempuan Generasi Z : Kenapa Tuntutannya Terasa Berat? (sumber gambar: canva AI)

Beban Ganda Perempuan Generasi Z: Kenapa Tuntutannya Terasa Berat?

Generasi Z, dengan segala potensi dan idealismenya, tumbuh di tengah pusaran informasi dan perubahan sosial yang sangat pesat. Di antara gemuruh kemajuan ini, perempuan Gen Z menghadapi segudang tantangan yang cukup berbeda dari generasi sebelumnya. Salah satunya adalah ekspektasi yang seolah tak pernah usai.

Mereka dituntut untuk menjadi individu yang sukses secara karier, mandiri secara finansial, aktif dalam isu sosial, berpenampilan menarik, menjaga kesehatan mental, hingga tetap memelihara hubungan personal yang harmonis.

Pertanyaannya, mampukah satu individu menanggung beban sebanyak ini tanpa kehilangan jati dirinya sendiri?

Kemajuan yang Bikin Paradoks

Memang benar bahwa emansipasi dan kesetaraan gender telah membuka banyak pintu bagi perempuan. Mereka memiliki akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan kesempatan kerja dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, kemajuan ini paradoksnya turut melahirkan tuntutan baru yang terkadang tidak realistis.

Media sosial misalnya, seringkali menampilkan standar kesempurnaan yang semu, memicu perbandingan dan tekanan untuk selalu tampil ‘sempurna‘ dalam segala aspek kehidupan.

Hal itulah yang terkadang melahirkan kaca mata baru bagi masyarakat umum, bahwa menjadi perempuan Gen Z harus serba bisa dalam menjalankan berbagai peran yang ada, sebab itu sudah menjadi bagiannya.

Tradisi Masih Membebani, Tuntutan Modern Nggak Kalah Berat

Di sisi lain, nilai-nilai tradisional yang masih melekat juga menambah beban moral perempuan yang lahir di era 1997 hingga 2012. Perempuan Gen Z diharapkan untuk tetap menjalankan peran domestik tertentu, di samping mengejar impian profesional mereka. Perempuan harus menjaga etika, perempuan harus menjaga adab, perempuan harus menjaga keanggunannya, dan perempuan harus tampak tegar di segala tempat dan di berbagai kondisi.

Belum lagi mengikuti aturan adat yang terkadang justru menghilangkan nadi dalam tubuh perempuan gen Z. Akibatnya, mereka seringkali merasa terpecah antara tuntutan karier dan ekspektasi sosial. Dampaknya, tentu bisa saja menciptakan konflik eksternal dan internal yang signifikan.

Baca juga:  Perempuan dan Alam: Peran Penting dalam Menjaga Lingkungan

Kita juga tidak bisa mengabaikan tekanan ekonomi yang dihadapi generasi ini. Terlebih mengingat banyak konten di media sosial yang menjadikan branding bahwa “perempuan agar disukai harus tampil stylish dan cantik”. Statement semacam ini akan menjadikan stigma ekspektasi di masyarakat tentang sosok perempuan Gen Z semakin bertambah.

Tekanan Finansial & Budaya “Harus Tampil Sempurna”

Belum lagi ketidakstabilan ekonomi global dan persaingan kerja yang ketat memaksa perempuan Gen Z  untuk bekerja lebih keras dan mencapai kemandirian finansial. Namun, ekspektasi untuk sukses di usia muda, ditambah tuntutan untuk tetap ‘produktif’ dan ‘relevan’ di era digital, dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang berkepanjangan.

Bahkan, Widadi, B. Setiawan juga membenarkan, bahwa perempuan merupakan individu yang lebih mudah merasakan beban, baik secara fisik maupun mental, jika dihadapkan pada segudang permasalahan berupa ‘racun tuntutan’.

Penting untuk dipahami bahwa kritik ini bukan berarti menolak kemajuan atau meremehkan kemampuan perempuan generasi Z. Justru sebaliknya. Opini ini muncul dari kepedulian terhadap potensi luar biasa yang dimiliki generasi ini.

Namun, kita perlu jujur mengakui bahwa beban ekspektasi yang terlalu berat dapat menghambat perkembangan mereka. Sebagian besar dampak lain yang ditimbulkan adalah memicu masalah kesehatan mental, dan timbul perasaan gagal meskipun telah berusaha sekuat tenaga.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua menyadari, tidak hanya perempuan Gen Z, akan tetapi juga keluarga, lingkungan sosial, dan masyarakat secara luas untuk merefleksikan kembali ekspektasi yang kita berikan.

Yang Dibutuhkan: Dukungan, Bukan Tuntutan

Alih-alih menuntut kesempurnaan dalam segala hal, mari kita fokuskan pada saling memberi dukungan di tengah gempuran problema kehidupan. Perlu juga keterlibatan kita dalam memberikan apresiasi terhadap proses yang telah mereka kerjakan.

Baca juga:  5 Buku Inspiratif tentang Perempuan yang Melawan, Cocok Dibaca di Hari Kartini!

Dengan demikian, ketika mereka belum berhasil mewujudkan tujuannya ataupun impian profesionalismenya, mereka tidak merasakan kegagalan yang tak berarti, akan tetapi pembelajaran yang penuh makna.

Selain itu, sebagai bagian dari manusia yang berkarakter dinamis, kita juga perlu untuk membiarkan mereka dalam menerima keragaman pilihan hidup. Hal ini dilandasi pada pernyataan bahwa perempuan Gen Z memiliki hak untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri. Mereka tidak perlu merasa harus terbebani oleh standar ganda dan ekspektasi yang tidak realistis.

Sudah saatnya kita beralih dari budaya tuntutan menjadi budaya pemberdayaan, dimana setiap perempuan muda merasa didukung untuk berkembang sesuai dengan potensi uniknya. Bukan terbebani oleh cetakan ideal yang sempit.

Memberikan ruang untuk mereka bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan minat mereka adalah kunci untuk mewujudkan generasi perempuan yang tangguh, bahagia dan berkontribusi  secara maksimal bagi kemajuan bangsa.

Satu hal lagi, sebagai sebuah bangsa yang bersatu untuk kebaikan bagi masa depan, maka kita juga perlu menciptakan ruang dialog yang aman dan suportif.

Dalam ruang tersebut, perempuan muda dapat berbagi beban dan menemukan kekuatan dalam komunitas. Dengan saling mendukung dan memahami, kita dapat membantu mereka menavigasi kompleksitas aman ini dan melepaskan diri dari belenggu ekspektasi yang berlebihan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top