Ilustrasi perempuan sedang bersuara

7 Fakta Perempuan Tidak Pernah Hidup Normal!

Fakta perempuan.
“Kamu terlalu sensitif.”

“Pasti PMS lagi ya?”

“Namanya juga perempuan, harus sabar dong.”

Tiga kalimat itu bisa jadi hanya sebagian kecil dari ribuan bentuk ekspektasi yang terus diarahkan kepada perempuan setiap harinya. “Perempuan dilahirkan oleh rasa sakit seumur hidup”, kalimat itu bukan sekedar metafora. Itu adalah realitas biologis, emosional, dan sosial yang dihadapi jutaan perempuan di seluruh dunia.

Dunia menuntut perempuan untuk selalu kuat, tenang, cantik, lemah lembut, sekaligus multitasking. Namun dibalik itu semua, ada kenyataan biologis dan sosial yang membuat hidup perempuan tidak pernah benar-benar “normal.”

Dalam satu bulan saja, tubuh perempuan mengalami perubahan ekstrem dari sisi hormonal dan psikologis. Namun, perubahan itu sering diabaikan bahkan dianggap sebagai “alasan klasik” ketika perempuan menunjukkan emosi atau lelah.

Berikut ini adalah tujuh fakta perempuan yang menjelaskan mengapa hidup perempuan tidak pernah berjalan “normal” dan mengapa kita memerlukan lebih banyak ruang untuk memahami dan menghormatinya.

Perempuan dilahirkan oleh Rasa Sakit, Dibesarkan dalam Ekspektasi

Perempuan secara harfiah lahir dari rasa sakit: baik saat dilahirkan maupun saat menjalani hidup. Sejak kecil, banyak anak perempuan dibesarkan dengan standar yang berbeda dari anak laki-laki. Diajarkan sopan, dilarang bermain kasar, harus bisa masak, dan dilarang “banyak bicara”.

Tekanan untuk menjadi “perempuan baik-baik” dimulai bahkan sebelum kita bisa memahami maknanya. Dan itu berlangsung seumur hidup.

PMS: Neraka Bulanan Perempuan yang Nyata

Pre-Menstrual Syndrome (PMS) bukan mitos atau pembenaran untuk marah-marah. Ini adalah fase di mana tubuh perempuan mengalami gangguan hormon drastis: mood swing, perut kembung, nyeri payudara, sakit kepala, dan emosi yang tidak stabil.

Baca juga:  Semua Orang Lagi IF! Apa Hebatnya Diet Ini Dibanding Diet Lain?

Fase ini biasanya terjadi 7 hari sebelum menstruasi , dan bagi sebagian perempuan, efeknya sangat meningkat. Tapi apakah lingkungan kerja, rumah, atau sekolah pernah memberikan toleransi? Jarang.

Menstruasi = Produktivitas Turun, Tapi Dunia Tidak Peduli

Setiap bulan, perempuan menghadapi PMS ( Pre-Menstrual Syndrome ) yang terjadi sekitar 5–10 hari sebelum menstruasi. Ini bukan sekadar suasana hati yang buruk. terjadi pada minggu kedua ini, menstruasi tiba. Selain darah, yang keluar adalah energi. Menstruasi bukan hanya soal mengganti pembalut atau tampon. Ini masalah mengatasi nyeri perut tak terganggu, mual, hingga anemia. PMS bisa berarti migrain, nyeri payudara, perut kembung, kelelahan parah, hingga perasaan sedih yang datang tiba-tiba tanpa sebab.

Tetap harus kerja? Tetap harus jaga anak? Tentu saja. Tidak ada dispensasi sosial hanya karena hormon sedang naik-turun. Sambil menyembunyikan rasa sakit dengan wajah “baik-baik saja”.

Minggu Ketiga : Perang Menstabilkan Hormon

Setelah menstruasi berakhir, tubuh tidak langsung kembali normal. Justru, pada minggu ketiga, perempuan harus menghadapi proses penyeimbangan hormon yang membuat emosi jadi tidak konsisten. Tapi karena ketegangan estrogen dan progesteron belum sepenuhnya stabil, perempuan bisa mengalami emosi campur aduk, kehilangan fokus, dan kelelahan mental.

Ada waktu dan ruang untuk lelah? tidak! Karena di dalamnya perempuan tetap diharapkan jadi ibu yang sabar, pekerja yang produktif, dan pasangan yang pengertian. Bisa jadi hari ini terasa bahagia, besoknya sedih tanpa alasan. Dunia meminta perempuan untuk tetap stabil dan tersenyum.

Ovulasi = Tubuh Siap Hamil, Faktanya?

Pada minggu keempat, terjadi ovulasi. Tubuh perempuan mempersiapkan diri untuk kehamilan secara alami. Hormon meningkat, libido naik, dan perasaan jadi lebih intens. Namun ini juga menjadi masa yang sangat rentan secara emosional.

Baca juga:  Perempuan Berlogika: Mendobrak Stereotip Gender di Indonesia

Sayangnya, banyak budaya yang justru memanfaatkan masa ini untuk mendorong perempuan agar segera menikah dan punya anak. Seolah-olah kesiapan fisik berarti kesiapan mental dan sosial.

6. Multitasking = Tuntutan, Bukan Pilihan

Perempuan harus bisa segalanya. Mengurus rumah, bekerja, menjadi ibu, istri, teman, sekaligus tetap tampil cantik. Perempuan harus pintar tapi tidak mendominasi, harus kuat tapi tidak terlihat terlalu independen.

Tubuh lelah? Penurunan mental? Itu urusan belakangan. Tidak cukup hanya mampu. Perempuan juga harus tetap menarik, “tidak cerewet”, dan jangan terlalu ambisius. Beban peran ini tidak hanya melelah. Kita tidak pernah diminta memilih peran, tapi dipaksa untuk menjalani semuanya.

7. Bicara = Dicap Cerewet, Diam = Dicap Lemah

Ironi lainnya adalah perempuan yang menyuarakan pendapat sering dianggap rewel atau emosional. Tapi saat diam, dianggap tidak kompeten atau tidak cukup vokal. Kita terus berada dalam dilema tanpa ujung: antara membela diri atau menyesuaikan diri dengan ekspektasi.

Waktunya Berhenti Memaksa “Normal” pada Perempuan. Tubuh dan hidup perempuan tidak pernah punya minggu yang tenang. Setiap minggunya selalu ada perjuangan fisik, psikis, dan sosial. Namun, kami terus diminta tampil kuat, tenang, dan “baik-baik saja”.

 Menjadi perempuan bukanlah perkara sederhana. Dan jika dunia ingin melihat perempuan tersenyum, maka berikan ruang bagi kami untuk hidup manusiawi bukan sempurna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top