Di sebuah perusahaan keuangan di Jakarta, Dina (bukan nama sebenarnya), perempuan keturunan Papua, bekerja sebagai analis muda. Ia berprestasi dan diakui rekan sejawat. Namun setiap kali klien baru datang, pertanyaan yang kerap ia dengar bukan “bagaimana hasil analisismu?”, melainkan “kamu kerja di sini?”.
Pertanyaan sederhana itu menyimpan makna dalam: keheranan atas posisi yang ia duduki, karena warna kulit dan identitasnya tidak sesuai dengan bayangan “profesional ideal”.
Fenomena seperti itu dialami banyak perempuan dari kelompok etnis minoritas di Indonesia. Mereka menghadapi dua lapis diskriminasi sekaligus—sebagai perempuan dan sebagai bagian dari ras atau etnis yang sering dianggap “berbeda”. Di balik kemajuan isu kesetaraan gender, diskriminasi berbasis ras masih menjadi bayangan panjang yang jarang disorot.
Partisipasi Perempuan Masih Rendah, Ras Minoritas Lebih Rentan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya 54,42 persen, sementara laki-laki mencapai 83,98 persen. Dari jumlah tersebut, sekitar 66 persen perempuan bekerja di sektor informal, tanpa jaminan sosial dan perlindungan kerja yang memadai.
Kondisi ini menggambarkan betapa sulitnya perempuan menembus sektor kerja formal. Bagi perempuan dari etnis minoritas, hambatan tersebut bahkan berlipat.
“Penilaian di tempat kerja sering kali tidak hanya berdasarkan kemampuan, tapi juga kesesuaian dengan norma mayoritas,” ujar Dewi Rahmawati, peneliti gender dari Universitas Indonesia. “Perempuan dari kelompok minoritas harus bekerja dua kali lebih keras untuk mendapatkan pengakuan yang sama.”
Diskriminasi rasial di dunia kerja jarang muncul secara terang-terangan. Ia berwujud dalam mikroagresi, stereotip, atau candaan yang merendahkan. Misalnya komentar tentang warna kulit, logat daerah, hingga nama yang dianggap “asing”.
Menurut laporan International Labour Organization (ILO), perempuan Indonesia menerima upah sekitar 23 persen lebih rendah dari laki-laki. Kesenjangan itu makin terasa jika faktor ras turut diperhitungkan. Studi McKinsey Global Institute bahkan mencatat, perempuan kulit berwarna di dunia menghadapi hambatan karier tiga kali lebih besar dibanding laki-laki dari kelompok mayoritas.
“Di banyak ruang kerja, keberagaman hanya jadi jargon,” tulis laporan ILO. “Bias tidak disadari—termasuk rasial—masih membatasi ruang tumbuh bagi perempuan.”
Indonesia belum memiliki data nasional yang menggabungkan variabel gender dan etnis dalam konteks ketenagakerjaan. Akibatnya, diskriminasi berbasis ras sering luput dari perhatian.
Padahal, menurut riset global, perempuan dari kelompok etnis minoritas menghadapi hambatan sistemik: mulai dari akses pendidikan, jaringan profesional, hingga kesempatan promosi.
Di tingkat kepemimpinan, hanya 11,5 persen posisi direksi perusahaan besar di Indonesia diisi perempuan—dan sebagian besar berasal dari kelompok sosial dominan.
“Kita bicara tentang inklusi, tapi wajah kepemimpinan di banyak perusahaan masih seragam,” ujar Arum Larasati, konsultan SDM di Jakarta. “Perlu keberanian untuk memberi ruang pada talenta dari latar belakang berbeda.”
Kesenjangan ini tak hanya melukai rasa keadilan, tapi juga menekan potensi ekonomi. Laporan Kompas (2024) mencatat, jika kesenjangan gender di dunia kerja tertutup, Indonesia berpotensi menambah hingga 135 miliar dolar AS per tahun terhadap PDB nasional.
Artinya, diskriminasi bukan sekadar masalah moral, tapi juga kerugian ekonomi nyata. Ketika perempuan berbakat dari kelompok minoritas terhambat, negara kehilangan inovasi, kreativitas, dan produktivitas.
Dampak sosialnya pun terasa. Perempuan yang terus-menerus menghadapi prasangka sering mengalami tekanan mental dan rasa tidak percaya diri. Banyak yang akhirnya menarik diri dari dunia profesional, bukan karena tidak mampu, tetapi karena merasa tidak diterima.
Beberapa perusahaan mulai melakukan perubahan. Program diversity and inclusion kini mulai diterapkan di sejumlah korporasi, dengan pelatihan anti-bias dan mentoring bagi perempuan dari latar belakang beragam.
Namun, menurut Lembaga INFID, inisiatif ini masih bersifat sporadis. “Kebanyakan hanya terjadi di perusahaan multinasional atau startup besar,” kata Nur Hidayah, aktivis perempuan lintas budaya. “Perusahaan lokal masih cenderung melihat isu ini sebagai tren, bukan kebutuhan.”
Ia menambahkan, diperlukan kebijakan nasional yang mewajibkan audit kesetaraan dan inklusivitas di dunia kerja—bukan sekadar imbauan moral. Negara, perusahaan, dan masyarakat sipil perlu bergerak bersama menciptakan ruang yang aman dan adil bagi semua perempuan.
Solidaritas Lintas Ras, Gerakan yang Tumbuh Pelan: Melihat yang Tak Pernah Kita Lihat
Dalam beberapa tahun terakhir, mulai muncul inisiatif komunitas yang memperjuangkan suara perempuan lintas etnis. Misalnya jaringan Perempuan Timur Berkarya di Papua dan Maluku, serta gerakan Women of Diversity di Jakarta yang menyoroti pengalaman perempuan dari berbagai suku dan latar sosial.
Mereka membangun solidaritas baru: mempertemukan perempuan dari latar berbeda untuk saling belajar dan menyuarakan pengalaman diskriminasi yang sering tak terdengar.
“Solidaritas lintas ras ini penting,” kata Tiara Natalia, pendiri Women of Diversity. “Karena perempuan mayoritas sering tidak menyadari bentuk-bentuk rasialisme yang dialami sesamanya. Mendengarkan adalah langkah pertama menuju perubahan.”
Diskriminasi terhadap perempuan ras minoritas bukan sekadar persoalan individu, melainkan cermin dari sistem sosial yang masih bias. Ia muncul di ruang kerja, ruang publik, bahkan dalam kebijakan yang seolah netral.
Selama wajah kepemimpinan, upah, dan peluang kerja masih ditentukan oleh warna kulit atau nama keluarga, maka perjuangan kesetaraan belum selesai.
Yang dibutuhkan kini bukan hanya kesempatan yang sama, tetapi pengakuan terhadap keberagaman yang sesungguhnya.
Karena kesetaraan bukan berarti membuat semua perempuan sama, melainkan memastikan setiap perempuan apapun warna kulit dan asalnya memiliki ruang yang sama untuk diakui.