Kalau Aku Pergi, Apa yang Tertinggal? (sumber gambar: DewiKu.com)

Kalau Aku Pergi, Apa yang Tertinggal?

Kalau aku pergi, apa yang tertinggal? Pertanyaan ini mungkin terdengar seperti renungan akhir hidup, tapi sesungguhnya muncul dalam kesunyian yang sangat kontemporer: ketika dunia terlalu ramai, terlalu bising, dan terlalu sibuk membangun citra. Di tengah sorotan kamera dan algoritma media sosial, banyak perempuan mulai bertanya—bukan tentang seberapa banyak yang mereka miliki, tetapi apa arti kehadiran mereka di kehidupan orang lain.

Apa itu Legacy Perempuan?

Ketika membicarakan legacy perempuan atau warisan hidup, pikiran kita sering langsung tertuju pada prestasi monumental, kontribusi publik, atau dampak yang viral. Namun, warisan hidup perempuan tidak selalu berbentuk panggung atau penghargaan. Banyak perempuan menjalani hidup tanpa headline, tanpa followers ribuan, namun meninggalkan sesuatu yang jauh lebih dalam: nilai, kesetiaan, kehangatan, empati.

Di sebuah dunia yang mengagungkan narasi “girlboss” dan personal branding, ada kerinduan akan makna yang lebih tenang. Legacy bisa berarti menjadi seseorang yang membuat orang lain merasa pulang, merasa didengar, merasa penting. Bukan karena satu momen viral, tapi karena kehadiran yang konsisten dan tulus.

Meninggalkan Jejak yang Bermakna

Hidup yang meninggalkan bekas di hati, bukan di sorot kamera, adalah bentuk eksistensi yang semakin langka. Banyak perempuan hari ini hidup dalam tekanan untuk terlihat produktif, bahagia, cantik, dan berpengaruh secara visual. Padahal, pengaruh sejati sering kali hadir tanpa tanda centang biru.

Menjadi perempuan yang memilih untuk berdampak secara personal—dalam lingkaran keluarga, teman, komunitas—adalah pilihan yang diam-diam radikal. Di dunia yang mengukur keberhasilan lewat jangkauan, ada perempuan yang lebih peduli pada kedalaman.

Perempuan-perempuan ini tak muncul di halaman depan majalah atau trending topic, tapi mereka ada di setiap percakapan yang penuh makna, di setiap keputusan yang dilandasi kasih. Mereka adalah suara di balik kesuksesan orang lain, tangan yang menopang di saat rapuh, dan hati yang terus terbuka meski tak selalu dipuji.

Baca juga:  Perempuan Berlogika: Mendobrak Stereotip Gender di Indonesia

Eksistensi Tanpa Eksibisi

Sosiolog Zygmunt Bauman pernah menyebutkan bahwa kita hidup dalam masyarakat cair, di mana segala sesuatu berubah cepat, termasuk identitas. Dalam konteks perempuan, hal ini berarti kita dipaksa tampil sempurna dan relevan setiap saat. Tapi legacy perempuan bukan tentang siapa yang paling terlihat, melainkan siapa yang paling mengubah.

Perempuan yang memilih eksistensi tanpa eksibisi adalah mereka yang menolak dipermainkan ekspektasi performatif. Mereka hidup dengan nilai-nilai yang tidak bisa diukur dengan angka—seperti kesetiaan pada proses, keberanian untuk jujur, dan ketulusan untuk hadir bagi orang lain.

Warisan Hidup Perempuan yang Sebenarnya

Banyak perempuan tumbuh dengan narasi bahwa mereka harus meninggalkan sesuatu yang besar. Tapi di balik narasi itu, tersimpan pertanyaan yang lebih jujur: “Apa yang sebenarnya ingin aku tinggalkan?”

Jawabannya bisa sederhana tapi kuat: ketenangan, keberanian, ruang aman, atau bahkan tawa yang tulus. Warisan perempuan tidak harus spektakuler. Kadang ia hadir sebagai keberlanjutan dari kebaikan kecil yang tidak pernah kita dokumentasikan.

Warisan emosional sering kali jauh lebih abadi daripada pencapaian yang bisa dilupakan. Ada kekuatan dalam menciptakan memori yang membuat orang lain merasa dilihat dan dicintai. Legacy juga bisa lahir dari luka yang disembuhkan, dari trauma yang tidak diteruskan. Perempuan yang memilih untuk berhenti mewariskan rasa takut dan mulai mewariskan harapan sedang membentuk sejarah yang pelan tapi kuat.

Jejak Perempuan yang Tak Terlihat tapi Terasa

Legacy yang paling kuat justru sering tak kasat mata. Seorang ibu yang mewariskan kekuatan bertahan tanpa pernah mengatakannya. Seorang sahabat yang tetap hadir meski dunia sibuk berpaling.

Jejak perempuan tidak selalu berisik, tapi bisa sangat dalam. Mereka membekas bukan di linimasa, tapi dalam keputusan, perspektif, dan keberanian orang lain. Inilah bentuk legacy perempuan yang sering diabaikan, tapi justru paling mendalam.

Baca juga:  3 Penulis Perempuan dan Karyanya di Hari Buku Nasional!

Menutup Kamera, Menemukan Makna yang Otentik

Akhirnya, mungkin pertanyaan yang paling penting bukanlah “apa yang tertinggal?”, tapi “apakah aku hidup dengan jujur pada apa yang penting bagiku?” Karena dari situlah legacy yang otentik lahir.

Menutup kamera sesekali, menengok sekeliling, dan menyadari bahwa kita tidak perlu jadi pusat perhatian untuk jadi pusat perubahan. Itulah warisan hidup yang tak lekang, dan sering kali hanya bisa dilihat lewat hati.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top