Akhir-akhir banyak kasus yang dialami perempuan, baik yang merupakan masyarakat umum maupun selebriti atau tokoh publik, yang cukup menggemparkan. Sebagai contoh, kasus perceraian yang diikuti dengan saling menjatuhkan di khalayak atau ranah publik. Pada kasus seperti ini, biasanya netizen akan terbagi menjadi beberapa kelompok yang memiliki perbedaan pandangan dan pendapat.
Ironisnya, terkadang terjadi yang disebut empati buta dalam menjalankan konsep women support women. Di sinilah cara perempuan berpikir bijak dan menggunakan logika, memiliki peran yang signifikan, agar tidak menjadi bumerang bagi kaum perempuan sendiri.
Memahami Konsep Women Support Women dan Empati Buta
Konsep Women Support Women
Women support women adalah gerakan solidaritas antarperempuan yang menekankan saling mendukung, membangun empowerment, dan menciptakan jaringan mentorship guna mengatasi ketidaksetaraan gender melalui kolaborasi, advokasi, serta pemberdayaan sosial dan ekonomi.
Konsep ini memupuk rasa kebersamaan, memperkuat kepemimpinan perempuan, dan memfasilitasi perubahan struktural menuju kesetaraan di berbagai tingkatan masyarakat, menciptakan peluang berkelanjutan. Gerakan ini tidak hanya sekadar slogan, tetapi merupakan gerakan nyata, yang bertujuan untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi kaum perempuan.
Konsep Empati Buta
Empati buta adalah reaksi emosional spontan penuh simpati dan bantuan tanpa mempertimbangkan konteks, kebutuhan, atau konsekuensi, dengan ciri tidak selektif—dukungan diberikan ke siapa saja tanpa verifikasi—serta mengabaikan batasan pribadi (waktu, energi, sumber daya) yang rentan memicu kelelahan atau burnout.
Efek negatifnya mencakup ketergantungan berlebih, hilangnya kemandirian, hingga resiliensi palsu yang menyalahkan korban. Konsep ini menyorot perlunya “empati bijak” yang menyatukan niat baik, kebijaksanaan, dan pemahaman mendalam serta kondisi penerima.
Dampak Empati Buta dalam Kasus Women Support Women
Gerakan dukungan perempuan memperkuat solidaritas dan pemberdayaan perempuan melalui mentorship, kolaborasi, serta advokasi struktural demi terciptanya kesetaraan berkelanjutan, sementara empati buta—reaksi spontan tanpa pertimbangan konteks atau batasan—justru berisiko memicu kelelahan, ketergantungan, dan resiliensi palsu. Oleh karena itu, diperlukan empati bijak yang mengombinasikan niat baik, kebijaksanaan, dan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan penerima agar dukungan benar-benar memberdayakan.
Empati buta dalam gerakan dukungan perempuan dapat menjadi bumerang ketika pendukung mengabaikan kapasitas diri, misalnya mentor yang menampung terlalu banyak mentee hingga mengalami kelelahan mental dan burnout. Selain itu, bantuan finansial atau pekerjaan tanpa syarat berisiko memperkuat ketergantungan penerima, sehingga mereka kurang belajar kemandirian layaknya seseorang yang terus ditolong orang tuanya.
Terakhir, empati buta sering mengabaikan konteks sosial dan kebutuhan spesifik—apa yang dicari seorang profesional mungkin berbeda dengan pegiat advokasi—sehingga dukungan yang diberikan tidak tepat sasaran dan kurang efektif.
Mengatasi Empati Buta dalam Kasus Women Support Women
Agar tidak menjadi ironi, ada strategi mengatasi empati buta dalam mendukung sesama perempuan. Pertama, perlunya empati terinformasi dan selektif dengan memverifikasi kebutuhan. Memiliki informasi yang valid, akan membuat empati yang kita berikan lebih tepat sasaran dan terukur, sehingga kita tetap berada di posisi netral. Kedua, mengedepankan logika dan berpikir rasional daripada emosi.
Ini seringkali menjadi bahan pertimbangan, karena perempuan sering dikaitkan dengan hal emosional dibandingkan rasional, menjadikan penilaian terhadap suatu masalah atau kondisi, menjadi tidak berimbang. Selanjutnya, perlu membuat batasan yang sehat dan jelas.
Terkadang, perasaan emosional tidak bisa lepas dari keterikatan pada sesuatu, sehingga dalam kasus women support women, karena merasa sesama perempuan, lebih mengedepankan empati. Terakhir, perlunya melatih empati agar lebih terarah. Jika empati terarah sudah bisa diterapkan, diharapkan empati buta terhadap kasus yang dialami sesama perempuan bisa berkurang dan membawa solusi yang lebih relevan.
Agar gerakan dukungan perempuan dapat berjalan efektif dan progresif, maka perlu menggabungkan beberapa hal agar menjadi integrasi yang solid dan tepat sasaran. Empati adalah hal yang sangat penting untuk diberdayakan.
Namun, empati buta, tidak disarankan, agar dukungan yang diberikan mampu memberdayakan perempuan, bukan sekadar memuaskan emosi sesaat. Dengan mengombinasikan solidaritas, tindakan konkret, dan batasan yang sehat, kita membangun jaringan support yang kuat dan berkelanjutan.