“Ia tidak dibunuh karena mencuri”
“Dia tidak dibunuh karena korupsi”
“Dia dibunuh karena dia perempuan”
Inilah wajah kelam dari femisida. Kejahatan yang terlalu sering dianggap sekadar pembunuhan biasa. Padahal, di balik setiap kasus femisida, tersembunyi kekuatan destruktif dari budaya patriarki, ketimpangan kekuasaan, dan kebencian berbasis gender.
Di tengah gegap gempita emansipasi dan kemajuan zaman, ada ironi kelam yang terus menghantui perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia: femisida. Istilah ini tidak sekedar sinonim dari pembunuhan, melainkan bentuk paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender. Dalam Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida ditegaskan sebagai pembunuhan terhadap perempuan semata-mata karena identitas gendernya, sebuah kejahatan yang bersumber dari kebencian, dominasi, dan objektifikasi terhadap tubuh perempuan.
Artinya, dalam kasus femisida, yang direnggut bukan hanya nyawa, tetapi juga hak untuk hidup setara dengan manusia. Perempuan dibunuh bukan karena konflik pribadi, tetapi karena sistem sosial yang konteksnya lebih rendah, lemah, dan tidak dapat dikendalikan.
Apa Itu Femisida?
Perbedaan mendasar antara femisida dan pembunuhan biasa terletak pada motif pelaku. Jika pembunuhan umumnya dipicu oleh faktor seperti ekonomi, balas dendam pribadi, atau konflik sesama jenis kelamin, maka femisida terjadi karena korban adalah perempuan . Ini adalah refleksi dari hubungan kekuasaan yang timpang, di mana tubuh perempuan menjadi arena kekuasaan yang bisa dikontrol bahkan dihancurkan.
Femisida menampilkan wajah paling brutal dari ketidaksetaraan gender. Ia lahir dari budaya patriarki yang mengizinkan kekerasan sebagai alat dominasi, dan dari sistem hukum serta sosial yang kerap kali permisif terhadap pelaku kekerasan terhadap perempuan.
Tragedi Femisida di Indonesia
Baru-baru ini, publik Indonesia diguncang oleh kasus tragis: seorang perempuan hamil ditemukan tewas secara mengenaskan di kebun tebu, Sumatera. Tidak lama berselang, muncul kasus penipuan, pembakaran, dan pembunuhan terhadap seorang mahasiswi Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Dua peristiwa ini menjadi simbol nyata bahwa femisida bukanlah isu asing, melainkan isu yang sering terjadi di setiap waktu.
Sayangnya, banyak kasus femisida yang luput dari pemberitaan, apalagi penanganan hukum. Sebagian besar berakhir di senyap, tertutup stigma, atau dikaburkan dengan label “konflik rumah tangga”.
Statistik Mengerikan, Tapi Masih Dipandang Remeh
Menurut data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2023 tercatat 159 kasus femisida di Indonesia. Namun angka ini diyakini hanya sebagian kecil dari kenyataan yang sebenarnya, mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan atau gagal diketahui sebagai femisida.
Ironisnya, hingga kini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur dan menindak femisida sebagai kejahatan berbasis gender. Para pelaku hanya dijerat dengan pasal pembunuhan umum, tanpa mempertimbangkan motif gender yang jelas dalam kejahatan tersebut. Kekosongan hukum ini bukan sekadar bentuk kejahatan, namun pelanggaran terhadap hak-hak perempuan sebagai warga negara.
Femisida, Pembunuhan Berbasis Gender
Femisida bukan sekadar tindakan individu atau kejadian domestik. Ia adalah cerminan dari budaya patriarki yang masih mengakar kuat. Dalam budaya ini, perempuan yang berani mengatakan tidak, yang melawan kontrol, atau yang menolak persetujuan, kerap kali “dihukum” oleh masyarakat, bahkan sampai titik kehilangan nyawa.
Ketika tubuh perempuan terus menjadi objek penguasaan, negara tak hanya boleh menjadi penonton. Diperlukan langkah konkret berupa kebijakan yang mengakui femisida sebagai kejahatan sistem yang harus diberantas sampai ke akarnya.
Hukum Saja Tidak Cukup!
Namun, hukum bukan satu-satunya jawaban. Istilah femisida sendiri masih terdengar asing di telinga banyak orang. Tak sedikit yang mengacu pada istilah aktivisme atau isapan jempol. Maka, langkah strategi lainnya adalah edukasi publik secara masif . Kita membutuhkan diskusi terbuka di ruang akademik, media, dan komunitas, kurikulum yang mengenalkan konsep kesetaraan dan kekerasan berbasis gender dan pengakuan kolektif bahwa ini bukan hanya masalah perempuan, tapi masalah kemanusiaan .
Peran Media Sosial Dari Edukasi ke Aksi Nyata
Di era digital, media sosial menjadi alat paling ampuh untuk membangun kesadaran kolektif. Platform seperti Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan Facebook dapat digunakan untuk menyebarkan kesaksian korban dan keluarga korban, mengedukasi masyarakat tentang femisida dan bahaya patriarki, serta mendorong kampanye digital yang menekan pemerintah untuk bertindak. Gerakan digital yang terorganisir dan inklusif dapat membentuk opini publik sekaligus membuka ruang keberpihakan pada korban.
Seruan untuk Bergerak, Hentikan Femisida Sekarang!
Femisida bukan sekadar pembunuhan adalah bentuk paling sadis dari diskriminasi berbasis gender. Kita tidak boleh lagi membiarkan kejahatan ini berjalan diam-diam. Saatnya disebut dengan jujur: ini bukan konflik rumah tangga, ini bukan kasus kriminal biasa. Ini adalah femisida.
Kita membutuhkan Undang-undang khusus yang tegas dan berpihak pada korban, p endidikan menyeluruh yang mengungkap budaya kekerasan terhadap perempuan, dan berani berkolaborasi untuk menyuarakan bahwa nyawa perempuan bukanlah alat kuasa siapa pun
Selama tirani ini dibiarkan, ironi akan terus membunuh secara perlahan, dalam senyap, dan tak jarang dengan sistem restu yang tak peduli.